Jakarta
– Kairo, 14 September 2016
Aku berdiri didalam sebuah gedung
besar. Tembok kaca tebal nan tinggi menghalangiku untuk terus berjalan.
Pandanganku menerobos menuju hamparan luas didepanku. Ku pandanginya
lekat-lekat. Didalamnya burung-burung besi berjejer rapi bersiap menerbangkan
manusia kemanapun mereka mau. Salah satu
diantara mereka kelihatan sedang bersiap untuk mengantarkan manusia yang akan mengais
ilmu di tempat nan jauh. Ya, itulah burung yang akan menolongku sampai ke Negeri
Kinanah, Mesir.
Ku
balikkan badanku. Sekarang ku bisa melihat ratusan manusia bergerombol dengan
kawanan masing-masing. Mungkin mereka sedang menikmati detik-detik terakhirnya
di tanah air sebagaimana pula yang sedang ku rasakan. Sejurus kemudian pandanganku
tertuju pada segerombol muda-mudi berjas merah tua yang ku tahu merekalah
mahasiswa baru Al-Azhar yang datang dari Kalimantan. Tak jauh dari mereka,
menggerombol 5 pemuda lebih berkulit coklat kehitaman berkalung syal merah
bertuliskan Al-Azhar University yang
akhirnya ku tahu mereka datang dari Indonesia bagian timur yakni NTT dan Papua. Sedang yang paling banyak kulihat
jumlahnya adalah muda-mudi berseragam batik hijau sedang bercanda gurau dengan
asyiknya. Aku tidak tahu siapa mereka, juga tidak tahu dari mana mereka datang.
Namun yang ku tahu adalah, bukan aku saja yang sudah rindu untuk menuntut ilmu
ke sana. Tetapi, ada lebih dari 600 orang yang tersebar dari seluruh penjuru di
Indonesia yang telah menyiapkan dirinya untuk berpanas-panas di sebuah Universitas
tertua kedua di dunia. Itulah Universitas Al-Azhar.
Waktu
sudah pukul 7, aku dan teman-teman mulai memasuki burung besar yang mempunyai
nama Emirates itu. Pramugari berwajah
timur tengah dengan senyumnya menyambut dan menyapa kami. “Welcome…” ucapnya mempersilahkan kami masuk dalam Bahasa Inggris.
Aku mulai menempatkan diriku pada kursi dengan nomor yang tertera pada tiketku.
Di sebelah kananku, sudah ada seorang wanita duduk santai sembari menyematkan
selimut yang telah disediakan untuk menghangatkan badan dari dinginnya AC
pesawat. Ia juga mahasiswa baru Al-Azhar sepertiku. Disusul seorang laki-laki
duduk di sebelah kiriku.
Emirates
mulai bergerak. Ia mengambil persiapan untuk siap landas. Dadaku terasa penuh dengan
gemuruh kecemasan mengingat ini adalah kali pertama dalam hidupku. Rasa takut,
cemas, dan tentunya degdegan mengiringi lepas landas emirates dari bumi. Doa-doa
terus ku panjatkan. Jet belakang pesawat mengagetkanku dengan suara gemuruh
dahsyatnya. Emirates mulai berlari. Kecepatannya tidak kurang dari 300 Km/jam. Tubuhku
terdorong ke belakang. Kabin pesawat bergetar. Tak berselang lama, badanku
mulai condong ke belakang. Ku sandarkan kepalaku di kursi kabin. Selanjutnya
yang ku rasakan adalah Emirates seperti mencopot ruhku hingga sampai kepala
selama tak kurang dari 2 menit hingga ia mulai terbang tenang diatas awan.
Tak
terasa sudah 7 jam aku berada diatas bumi. Emirates akan transit terlebih
dahulu di Dubai, UEA sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kairo. Jam menunjukkan
pukul 12:15 waktu Dubai. Emirates mendarat dengan selamat. Selama kurang lebih
3 jam, ku bersantai di Dubai sembari menilik keindahan alam Kota Dubai dengan
bangunan pencakar langit nya yang kaya arsitektur dan teknologi. Tak salah jika
umat manusia mengatakan bahwa 25% jumlah crane
di dunia berada di sana. Ku lanjutkan lagi perjalananku. Pukul 15:15,
Emirates kembali mengepakkan sayapnya.
Dua
jam adalah waktu yang terasa begitu cepat di ketinggian lebih dari 10.000 meter
dari atas permukaan air laut. Ku coba melihat jendela. Pemandangan yang
menabjubkan kini ku rasakan. Aku bisa melihat gunung-gunung dan gurun yang
kuning dan gersang sekarang. Ku juga bisa melihat indahnya laut merah yang
mengingatkanku pada peristiwa ditenggelamkannya Fir’aun saat mengejar Musa dan
umatnya.
Kulihat
jam ponsel yang sekarang tertulis 2 waktu. Waktu Indonesia dan waktu Mesir. Di
Indonesia jam 8 malam sekarang, sedangkan disini masih pukul 3 sore. Ada hal
aneh yang terfikirkan olehku. Ku berangkat dari Dubai pukul 3 dan tiba di Mesir
juga pukul 3, padahal lebih dari 2 jam ku berada di dalam pesawat. Ya, karena
perbedaan waktulah yang menjadikan perjalananku seperti tidak memakan waktu.
Aku kembali fokus pada hal-hal apa yang ada dibawahku sekarang. Ku sudah bisa melihat
suasana kota dengan gedung-gedung tingginya dari kaca pesawat terbang. Warna
daratan yang kuning berselimutkan pasir. Tiba-tiba ku teringat pada kisah di Novel Ayat-Ayat
Cinta yang mengisahkan tentang pemuda Indonesia bernama Fakhri yang hijrah
ke Kairo selama bertahun-tahun tuk menuntut ilmu. Dengan segala perjuangannya,
akhirnya dia bisa lulus kuliah dan juga menemukan Aisyah, pendamping hidupnya
untuk selama-lamanya. Mungkinkah ku juga kan menemukan Aisyah-ku disini?
Alhamdulillah,
pukul 3 sore lebih sedikit pesawatku mendaratkan kakinya di bumi Kairo. Sejurus
kemudian ku langkahkan kakiku menuruni tangga pesawat satu demi satu. Saat
itulah untuk pertama kalinya ku menginjakkan kakiku di bumi Kairo. Detik inilah
perjalanan baru kumulai dan kehidupan baru pula kan ku jalani. Cairo
menyambutku dengan cuaca yang panas dan kering. Gurun pasir terlihat di
sisi-sisi lintasan pesawat. Ku beranjak menuju tempat boarding untuk mengambil
koperku, begitu juga para calon mahasiswa baru Al-Azhar yang lain. Setelah
koper dan berangkasku ku bawa, aku dan teman-teman berjalan menyusuri koridor bersiap meninggalkan bandara.
Aku
terus melanjutkan perjalananku. Ku sudah bisa melihat pintu utama keluar
bandara. Dari dalam ku bisa melihat suasana diluar bandara yang begitu ramai.
Banyak sekali manusia yang seperti mengantri diluar pintu bandara. Oh, baru
kutahu ternyata tujuan mereka tak lain adalah menyambut kedatangan keluarga
mereka yang telah berpegian jauh dengan suka cita. Teman-temanku dari Pati yang
lebih dulu keluar dari pitu langsung disambut teman-teman alumni madrasah yang
telah berhijrah sebelum mereka. Mereka saling melepas kangen dengan berpelukan
dan canda khas pesantren. Nuansa yang
penuh dengan kebahagiaan. Teman-teman dari Kalimantan, Papua juga sama. Mereka
diserbu manusia yang akan menghabiskan hidup bersama mereka di negeri orang.
Sore itu begitu cantik dengan senyum yang jatuh terekah. Namun berbeda
denganku. Ku tak mengenal siapapun. Aku adalah orang asing disini, dan tak ada
satupun yang mencariku dalam antrian banyak manusia ini. Sore ini tak lagi
ceria untukku. Dengan rasa sedih, ku seret koperku melewati hiruk pikuk
manusia.
Namun,
sayup-sayup ku mendengar suara yang menyebut namaku, ku mencari asal suara itu.
Namaku disebut kembali lebih keras. Dan akhirnya ku tahu ada satu-satunya orang
yang memang mengharapkanku dan menantiku keluar dari bandara ini. Ya, dialah
Najih Zamzami, kakak kelasku yang lebih dulu satu tahun hijrah ke Kairo. Rasa
haru ini tak bisa kutahan, ku langsung menghambur memeluknya dengan suka cita.
Tak apa, satu orang sudah sangat cukup untukku. Aku sudah merasa bahagia. Aku
tahu, Allah tak mungkin membiarkan hambanya bersedih.
Dan
untuk adik-adikku yang ingin menyusulku, dengan senang hati akan kakak sambut
sebahagia mungkin J.
Kalian disini tidak sendirian. Di Mesir jumlah mahasiswa Indonesia tak kurang
dari 4000 orang. Sangat banyak bukan? Namun, Indonesia tetap kalah jika dibanding
jumlah mahasiswa Malaysia dengan total lebih dari 10.000 orang. Kalau perlu, kita bentuk komunitas sendiri
disini. Mau???
Inilah
kisah kakak hari ini, lalu bagaimana dengan kisah kalian?
Fauzan
Marzuqi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar