Pesona Padang Pasir



Angin Desember berhembus pelan. Menerbangkan titik-titik pasir kemana-mana. Mobil-mobil terparkir di kanan kiri jalan. Debu pasir menebal kuning menyelimuti mewahnya Mercedes Benz, mobil kelas atas karya Eropa yang diam dibiarkan pemiliknya. Gedung-gedung yang sudah mulai kusam tak pernah tersentuh air hujan tampak gagah menjulang berpadu dengan lengkungan kubah masjid dan runcingnya menara-menara. Sedikit sekali gedung-gedung ini yang dicat berwarna cerah maupun terang. Hampir semuanya berwarna kuning pasir ataupun putih krem. Ya, memang warna inilah yang lebih tepat untuk bangunan di Mesir yang setiap saat dihantam badai pasir. Para pekerja, Bapak-Bapak dan ibu-ibu tampak sibuk membawa barang-barang mereka. Pelajar dan petugas lalu lintas sama sibuknya, semakin menambah kepadatan di jantung Kota Kairo. Banyak dari mereka yang mengenakan jaket kulit maupun wol. Musim dingin di Kairo tengah berlangsung sejak Bulan November lalu, membawa suhu dingin yang dapat menembus hingga sumsum tulang.

Aku berjalan menyusuri lorong kecil yang hanya muat oleh 2 motor atau satu bajaj. Ini adalah jalan kecil di kawasan perumahan yang padat. Jalan yang kering namun terasa lembab dimata. Sisi kanan dan kiri jalan ini berdiri rumah susun (flat) tempat tinggal masyarakat Mesir maupun orang Indonesia, termasuk rumahku. Rumahku sendiri berada di lantai tiga, lebih mendingan dibanding kawan-kawan yang rumahnya di lantai lima atau lebih – karena butuh ekstra tenaga bolak balik naik turun tangga – yang tiap hari beraktivitas keluar rumah. Setelah sholat Dzhuhur di rumah, aku langsung tancap gas keluar rumah menuju kampus. Jaket hitam tebal ku kenakan tuk melindungi sengatan dinginnya udara. Tak lupa kaos kaki tebal dan sarung tangan yang selalu menemaniku kemanapun. Ya, tiap pukul 12 siang sampai 6 malam aktifitasku adalah pergi ke kampus. Mengecualikan hari jum’at dan sabtu yang merupakan hari liburku. Jam menunjukkan pukul 12.10 Clt. Cuaca hari ini sangat terang tanpa awan hitam sedikitpun. Suhu udara sekarang 120 C., suhu yang bisa dikatakan sangat dingin bagi kulit Indonesia, terutama bagi orang baru di Kairo. Namun, masih tidak seberapa bagi warga Mesir sendiri. Kakiku terus melangkah melewati hiruk pikuk Kairo.

7 menit dengan jalan kaki waktu yang dibutuhkan dari rumahku menuju jalan raya. Bus merah bertuliskan angka 80 dalam aksara arab yang tercoret oleh garis miring berjalan lambat memburu penumpang. Bus besar tersebut sama besarnya dengan bus-bus pariwisata di Indonesia. Namun didalamnya hanya terdapat 30 kursi dalam 3 barisan. Aku biasa memakai bus ini ketika pergi ke Asyir, salah satu distrik di Kairo selain Darrosah, tempat tinggalku. Di Asyir itulah tempat banyak markas besar kekeluargaan Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir), seperti KSW (Kekelurgaan Jawa Tengah), KPJ (Jakarta), KPMJB (Jawa Barat), dll yang disatukan oleh PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia). PPMI inilah yang mengadakan orientasi/pengenalan bagi Mahasiswa Baru mengenai semua hal kecil sampai hal yang pelik di Negeri Seribu Menara ini.

Ku ayunkan tanganku ke samping untuk menghentikan bus. Pak sopir telah melihatku. Ia pun menghentikan laju busnya. Sejurus kemudian aku naik ke dalam. Alhamdulillah, masih ada beberapa kursi yang kosong. Dengan segera ku tempati kursi kosong di bagian belakang di samping kaca bus. Tak jarang aku kehabisan kursi dan terpaksa berdiri. Terkadang malah harus rela berhimpit-himpitan dengan banyak orang kala penumpang membeludak naik bus. Ku sandarkan badanku di kursi dengan lega sembari menatap pemandangan diluar melalui kaca bus. Gedung-gedung dan apartemen di sepanjang jalan menghiasi keindahan Kairo. Aku juga bisa melihat bapak-bapak yang membakar api untuk menghangatkan tubuh sekaligus menjajakan dagangannya. Ya, suhu udara akan terus menurun hingga puncak musim dingin akhir Januari ataupun awal Februari nanti. Tak jarang di malam yang dingin, aku ambil air panas dari Sakhonah (nama suatu alat pemanas air) dan ku celupkan kakiku ke dalamnya agar hangat. Bus terus melaju. Sesekali berhenti mengambil penumpang hinga tak terasa bus sudah sesak oleh banyak manusia yang tak ku kenal.

Banyak dari penumpang kali ini adalah mahasiswa dari berbagai penjuru dunia yang juga sedang pergi ke kampus. Mereka asyik berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Di dekatku, ada tiga mahasiswa dengan mata sipit dan wajah putih yang ku kira ia berasal dari Thailand atau Korea. Mereka berdiri dan berbicang-bincang. Sesekali tetawa. Ku juga bisa melihat mahasiswa Malaysia dengan Bahasa Melayu yang sedikit banyak bisa ku pahami. Berbeda dengan mahasiswa dari Nigeria, Bangladesh, di belakangku yang sama sekali tak ku pahami apa yang sedang mereka bincangkan. Ya, mengenai bahasa, ada lima bahasa yang aku gunakan di Kairo ini. Pertama, Bahasa Jawa; yang ku gunakan ketika berbicara dengan kawan dari Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Kedua, Bahasa Indonesia; ketika bersama warga Indonesia seperti Aceh, Sumatra, Jawa Barat, dan daerah Indonesia bagian timur (karena mereka juga punya Bahasa Daerah sendiri hingga kami disatukan oleh Bahasa Indonesia). Ketiga, Bahasa Arab Amiyah (Bahasa Arab pasaran). Bahasa ini sering ku gunakan ketika ber-muamalah dengan orang Mesir. Keempat, Bahasa Arab, dan kelima, Bahasa Inggris. Kedua Bahasa ini ku gunakan ketika berbincang di tempat-tempat umum dan pemerintahan Kairo, seperti di Kampus, Rumah Sakit atapun ketika berbicara dengan mahasiswa selain Indonesia. Diantara banyak mahasiswa di Kairo, mahasiswa Malaysia merupakan Mahasiswa dengan wajah paling mirip dengan wajah mahasiswa Indonesia. Di belakangku, gadis kecil Mesir yang menurutku sangat mirip dengan Naufal Hawari kelihatan bingung mencari posisi untuk berdiri. Dan beberapa penumpang lain – entah mahasiswa atau bukan – memilih untuk diam. Tak lama, kondektur berjalan menghampiri penumpang menarik uang sekaligus memberikan tiket bus. Ku ambil uang satu Pound (sekitar Rp. 1000,-) dan ku berikan padanya.  

Mataku tertuju pada wanita yang berada jauh di depanku. Ia sedang berdiri di depan dekat dengan kemudi karena tempat duduk yang sudah penuh. Seluruh tubuhnya terbungkus kain. Hanya kedua bola matanya yang lebar dan hidung atas (bagian antara kedua mata) saja yang terlihat.  Ia mengenakan mantel wol dan cadar hitam. Tingginya juga sedang. Kemungkinan lebih tinggi tubuhku beberapa senti. Ia sedang diam dengan kepala menunduk. Kedua matanya yang rindang dan di bagian sisi-sisi matanya yang putih jernih dan begitu halus dapat ku lihat dari sini.  Ia seperti menyembunyikan sejuta kecantikan dibalik kerudung dan cadarnya. Maha suci Allah yang menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dan rupa. Ia masih tetap menunduk. Namun tiba-tiba saja ia beralih menatapku.

***  

Bus meluncur lebih kencang di jalan raya. Perjalanan sudah ku tempuh dalam waktu 15 menit. Sebentar lagi aku sampai. Udara yang sejuk dan mataku yang sudah mulai lelah akhirnya membuatku tertidur.

Aku terbangun ketika bus sudah melewati kampus. Jadi, aku masih terlelap ketika bus sudah tiba di tempat pemberhentian di samping kampus. Ku lihat mahasiswa-mahasiswa sudah kosong dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa aku bersiap turun. “Ala gambih yasthoh” ucapku pada kondektur bus dengan bahasa Amiyah Mesir yang menunjukkan arti agar berhenti. Namun ia hanya diam. Ku ulangi lebih keras, “Yasthoh, ala gambih, urid nazzil” Lagi-lagi ia hanya diam, seperti tak ada apa-apa. Ku ulangi dengan lebih keras seraya menggedor-gedor pintu bus, “Ala gambih, ana nazzil dilwa’…. (Mohon berhenti, aku ingin turun sekarang..). Namun ucapanku seperti angin lalu. Ia sama sekali tidak menggubrisku. Bus tetap melaju dengan kecepatan sedang. Aku semakin takut jika bus semakin jauh meninggalkan kampus. Terbersit olehku untuk turun saat itu juga walaupun bus sedang melaju cukup kencang, mengingat aku juga tak ingin terlambat masuk kelas. Namun, itu berakibat aku akan terjatuh ketika turun dengan kecepatan bus seperti ini. Antara bingung dan takut yang membalut perasaanku sekarang ini. Aku masih berdiri di mulut pintu, mengharap respon dari Kondektur. Namun aku tahu akan sia-sia. Akhirnya ku putuskan untuk untuk turun sekarang juga. Sudah ku siapkan posisi tubuh bagaimana agar tidak jatuh. Bismillah… kaki kiriku lebih dulu melayang kemudian disusul kaki kanan.

BRUUUAKK!!!!

Kaki kiriku tak kuasa mempertahankan posisi tubuh ketika mendarat di trotoar jalan. Badanku terpelanting dan ambruk seketika kemudian terguling-guling di trotoar yang terbalut pasir. Sesaat ku tak merasakan seluruh sarafku. Aku terlentang di trotoar jalan beralaskan tas di punggungku. Ku melihat di sekelilingku. Tak ada orang sama sekali. Ku coba berdiri sendiri dengan sekuat tenaga. Kepalaku masih nyeri dan pusing. Ku amati tubuhku. Jaketku kotor oleh debu pasir. Oh, pergelangan kaki kananku terasa nyeri. Ku lihat kaos kakiku sobek di bagian bawah. Ku dapati juga sayatan-sayatan di tas, celana, dan juga jaketku. Namun Alhamdulillah tak ada luka fisik yang terlihat. Tasku kelihatan paling parah. Karena ketika badanku berguling, tasku lah yang menjadi alasnya. Ku lanjutkan berjalan menuju gerbang kampus dengan sedikit menyeret kaki.

Aku masuk ruang kelas. Jam menunjukkan pukul 13.00 waktu Cairo. Alhamdulillah aku belum terlambat.  Segera ku duduk di kursiku di barisan pertama. Teman-temanku sudah banyak yang telah hadir di kelas. Salah satu temanku dari Cirebon bertanya tentang apa yang baru saja menimpaku sambil menunjuk pada jaket belakang dan rambut belakang yang masih kotor oleh debu pasir. Aku segera membersihkan debu kotor dan membelai rambutku serta menjawab pertanyaan temanku dengan senyum.

Pelajaran hari ini belangsung seru. Kali ini aku diberi kesempatan untuk menerangkan Man al-Maushul. Tentunya ful dengan Bahasa Arab. Sesekali menambahi dengan Bahasa Inggris pada kata yang aku tak tahu Bahasa Arabnya. Aku tidak mau terlihat seperti pemula yang baru mengenal sastra Arab. Dengan percaya diri, ku lantangkan suaraku layaknya singa yang mengaung. Sebagai referensi, ku tambahkan pula keterangan-keterangan yang ku ambil dari kitab Alfiyyah Ibnu Malik yang pernah ku pelajari di Ponpesku dulu. Beserta Nadhom nya. Teman-teman memberikan tepuk tangan yang meriah setelah aku selesai presentasi.

Ya memang ada tantangan tersendiri di dalam kelas dengan kewajiban berbahasa asing (dalam konteks ini lebih ke bahasa Arab) selama ful pelajaran. Aku masih ingat ketika awal pembelajaran dulu, sering sekali aku mendengar kata yang tidak jelas dari Ustadz ataupun kata yang tidak tahu artinya. Namun seiring waktu, Bahasa menjadi terasa sangat mudah jika kita mengaplikasikannya dan terbiasa mendengarkannya. Disini juga banyak hal yang membuatku lebih bahagia. Salah satunya karena teman. Misal teman sekelasku dari Bangladesh. Aku sering ngobrol dengannya dan bertanya tentang banyak hal di Negaranya, juga pernah suatu ketika aku bertanya “What’s the meaning of ‘Kuch Kuch Hotahai’? karena Bangladesh satu rumpun dengan Bahasa India. Ia pun menjawabnya. Setelah itu kami menyanyikan lagu Kuch-Kuch Hotahai bersama. Sambil penuh tawa tentunya.

Tak jarang pula canda tawa karena kesalahan lisan seperti lahjah yang sudah mengakar di lisan mahasiswa di negeri masing-masing. Misal teman sekelasku dari Kalimantan. Pernah suatu kali ia berbicara kepada Ustadz dalam dua bahasa. Yakni Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. “Ya Ustadz, bil amsi kan ghibtu” yang berarti ”Ustadz, kemarin kan saya tidak hadir”. Jadi ia masih menggunakan kata ‘Kan’ yang ia imbuhkan dalam Bahasa Arab. Sontak mahasiswa dari Indonesia tentu tertawa karena memahami hal tersebut.

Atau ketika salah satu teman yang latta . Saat itu ada teman yang bertanya, “Ya Ustadz, mata sata’ti al-ijazah?” (Ustadz, liburnya kapan?) Ustadz menjawab “Insyaallah yaumul itsnain ila al arbi’a’” (Insyaallah hari senin sampai rabu). Temanku kembali menimpali, “Idzan, sa tasygolud dirosah bil khomis?” (Jadi, hari kamis sudah masuk lagi?) Ustadz menjawab, “Na’am”. Masih terbawa ‘perasaan’, temanku nyeloteh “Tapi Kejepit ya Ustadz…..” Karena memang hari Jum’at dan Sabtu adalah hari libur. Jadi, tentu hari kamis tentu akan menjadi Hari Kejepit Nasional (Harpitnas). Sang Ustadz lantas bertanya, “Ma ma’na Kejepit?” Kami kembali tertawa.

Ada banyak hal pembawa canda tawa keceriaan dan keindahan disini. Itu menjadikanku lebih betah dan cepat beradaptasi dengan suasana. Terkadang aku sering bertanya-tanya, Siapa sangka aku dapat berkelana di tempat sejauh ini. Karena memang tak pernah terbersit sedikitpun aku dapat sampai disini dan tak tahu sama sekali bagaimana cara dan jalan menuju tempat ini.  

Kini, memoriku terbang melihat masa lalu ketika masih di Indonesia. Ketika menikmati pulangnya matahari ke peraduan di desa tercinta. Kala awal mula menginjakkan kaki di Bugel. Saat merasakan udara sejuk sore hari di lantai atas/loteng Ponpes sembari komat kamit mengulang-ulang bait-bait Jurumiyyah, Umrithi, dan Alfiyyah. Ketika bercanda bareng bersama teman-teman di Ponpes. Ketika muwadda’ah akhirus sanah. Ketika mengikuti tes seleksi Al-Azhar di Jakarta, dan ketika hari terakhir ku melihat Indonesia.

Pukul 6 petang aku kembali menaiki bus merah tuk kembali ke rumah merebahkan tubuh sejenak dalam syahdunya malam. Masih akan ada banyak hari yang akan ku jalani. Masih akan ada banyak keindahan dan keharuan dalam kisah-kisah ini. Tentu, masih akan ada banyak rintangan yang harus ku hadapi. Yang jelas entah kapanpun itu, aku pasti akan pulang ke Indonesia. Aku akan kembali untuk Indonesia, memberikan yang ku punya untuk Indonesia. Menjadikan tanah airku sebagai tanah yang berjaya dari ufuk timur hingga ujung barat. Aku tak mau lama-lama berada di Negeri orang. Ya, apapun yang kita lakukan dan bermanfaat untuk kita sendiri, akan mati bersama kita. Namun, segala sesuatu yang kita lakukan dan bermanfaat untuk semua orang, ia akan kekal abadi.

Ku teringat lagu ciptaan Ibu Sud, Tanah Airku



Tanah airku tidak ku lupakan

Kan terkenang selama hidupku

Biarpun saya pergi jauh

Takkan hilang dari kalbu

Tanahku yang kucintai

Engkau ku hargai.

Walaupun banyak negeri ku jalani

Yang masyhur permai dikata orang

Tetapi kampung dan rumahku

Disanalah ku rasa senang

Tanahku tak ku lupakan

Engkau ku banggakan …  

Kairo, 29 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar